Perubahan merupakan proses yang alami belaka untuk Silampukau—sekarang mengusung diri sebagai Orkes Silampukau—untuk rilisan barunya.
Lagu-lagu klasik Silampukau merupakan sohib hangat untuk pikiran yang senggang. Hangat, jujur, tak jarang melankolis. Bayangkan, kendaraan melaju, lampu-lampu jalan berkelebat di sisi-sisi penglihatan. Diiringi genjrengan akustik renyah, suara bariton Kharis dengan artikulasinya yang jelas membubung:
“Magrib mengambang lirih dan terabaikan
Tuhan kalah di riuh jalan
Orkes jahanam mesin dan umpatan
Malam jatuh di Surabaya”
Suasana semacam itu mungkin sudah menjadi ingatan inti akan Surabaya bagi banyak orang. Warung kopi, jeda obrolan dengan teman-teman nongkrong, dendangan kontemplatif Kharis dan Eki. Meja kerja, tumpukan tugas yang belum habis, rintihan nasib kocak musisi indie dengan kelincahan folk riang. “Musisi, Gusti, musisi. Bukan jadi penjaga distro kayak gini.”
Lagu-lagu klasik Silampukau mendendang tak terhitung di berbagai sudut, hening dan ramai. Mereka menyentuh pendengarnya karena betapa intim liriknya merepresentasikan kehidupan—dalam banyak kesempatan—dengan kejujuran yang jahat.
Dan yang mungkin acap luput lantaran kelihaian musik Silampukau beresonansi dengan kehidupan: ia juga membentuk kenyataan kita. Mendengarnya, kota yang setiap saat terasa memusuhi tiba-tiba memancarkan keindahan absurd yang bisa diterima. Kita melihatnya secara berjarak, jauh dari kesesakannya, memercikkan rasa iba serta keterikatan lama.
Tembang-tembang Stambul Arkipelagia rilisan pertama menanggalkan berbagai kualitas tradisional lagu Silampukau tersebut. Mendengarnya sekilas, lagu-lagu anyar ini akan terasa asing. Vokal Kharis yang khas masih ada di sana. Liriknya yang berima secara ajaib, dengan kosa kata yang acap eksotik tapi mengena dan tidak berlebihan, masih ada di sana. Kejujuran jahat dibalut kemeriahan sederhana folk juga masih ada. Tapi, keintiman yang sama mungkin tidak akan dirasakan—setidaknya ketika awal-awal mendengarnya.
Lagu-lagu Silampukau intim karena langsung membidik peristiwa, intrik, keresahan hingga kegirangan menyehari. Mereka adalah hal-hal yang paling mengepung kita dan, mungkin juga, sisi paling rentan kita. Ketika kita berkomunikasi dengan apik menggunakan perasaan-perasaan yang berteriak tergores kenyataan, kita tahu, kita berbicara dengan jiwa lawan bicara kita.
***
Sebagai sebuah usaha berbicara, Stambul Arkipelagia digubah dengan strategi yang lain. Ketimbang berpijak pada Surabaya atau kenyataan langsung lainnya di sekitar pendengar, Stambul Arkipelagia mencoba mendirikan semesta yang dinamakannya Arkipelagia dan menceritakan satu persatu sisi muramnya. Manuver ini sendiri menggiring musik Orkes Silampukau ke ranah balada. Ranah ini tidak sepenuhnya asing untuk Silampukau, tapi Stambul Arkipelagia merupakan langkah berani—kalau tidak bisa dibilang nekat—menjebloskan diri utuh-utuh ke dalamnya.
Dari sini saja bisa diterka bahwa lagu-lagu Stambul Arkipelagia merupakan perjalanan, epos, atau gambaran krisis sebuah negeri. Lirik-liriknya tak lagi merupakan montase impresi yang menggaungkan pengalaman mendarah daging audiensnya, melainkan sketsa-sketsa yang menganyam keutuhan narasi semesta Arkipelagia. Dan tentu saja, balada yang diangkatnya berwatak kontemporer: ia sinis, berlepotan dengan cemooh terhadap para tokohnya atau mengekspresikan kejujuran yang konyol.
“Sejauh ‘Ku Memandang”, sebuah sketsa krisis Arkipelagia, dibuka dengan lirik berikut:
“Padi hampa tiada tinggi September ini,
bara cuaca memanggang segalanya:
ladang gemersang sejauh ‘ku memandang.
Kemarau t’lah menang, paceklik datang, paceklik panjang.”
Selanjutnya, lagu ini akan mengeksplorasi dan mengulang sketsa paceklik tersebut. Nuansa country minor, penekanan pada “paceklik menang” menggambarkan sekaligus menorehkan perasaan pesimis berat pada Arkipelagia. Tembang “Jurang Kemiskinan 1 (Dodoi)” melakukan hal serupa. Diiringi dengan irama Melayu minor, nyanyiannya mengungkapkan kepenatan warga Arkipelagia diperlakukan sebagai “bonus demografi”. Didominasi dengan vokal dan tempo lambat—”dodoi” sendiri berarti pengantar tidur— kita dapat mencecap kegamblangan kemarahan tokoh aku, meski belum tentu berbagi emosi yang sama dengannya.
Terkait menularkan perasaan, lagu-lagu klasik Silampukau lebih kuat dalam melakukannya. Nampaknya, ia tak lepas dari eksplorasi emosi yang lebih monoton dan ketiadaan keterikatan unik terhadap tempat, waktu, serta perkara dalam rilisan pertama Stambul Arkipelagia. Namun, kita juga bisa melihat ini sebagai implikasi dari strategi yang dipilih Orkes Silampukau. Lagu-lagu tak berdiri sendiri-sendiri melainkan menyumbang ke pesan menyeluruh dari album. Bayangkan sebuah pentas musikal. Ketika sebuah lagu diputar di luar kronologi pentasnya, kita lebih sulit meresapinya.
Nuansa Stambul Arkipelagia bergeser dengan dua lagu lain yang lebih menjelajahi kisah pribadi ketimbang sketsa sosial, meski ini juga tetap strategi untuk membangun semesta Arkipelagia. “In Memoriam … (Halimun Rahasia)” merupakan tembang kerinduan tragis sepasang kekasih yang terpisah kematian. Kendati menyiratkan Arkipelagia yang berbahaya, lagu ini khusyuk berkutat dalam rintihan kerinduan kedua kekasih ini. Lagu ini mengandalkan atmosfer operatik dengan orkestrasi yang bertahap, menuju klimaks yang ekstrem dan emosional. Pada momen puncaknya, ia terdengar seperti ikrar tragis dua arwah mengejar akhir yang baik.
Dan “Sejoli” adalah cerita tak selesai antara Bobby dan Erika—sepasang kekasih dengan profil ganjil—yang dimabuk asmara. Fokus pada mengisahkan keunikan sosok keduanya, lagu bernuansa tango dengan dinamika bersemangat ini berakhir dengan kehamilan Erika dan ketidakpastian yang menanti keduanya. Seperti “In Memoriam”, lagu ini menceritakan Arkipelagia tanpa menyinggung negeri tersebut:
“Amboi, garis dua!
Gesit betul berenangnya!
Amboi, nasib apa
yang sembunyi menantinya,
di neg’ri sengeri hari-hari ini,
di ambang tirani?”
***
Buat pendengar lama Silampukau, langkah Orkes Silampukau barangkali bisa dikatakan mengagetkan. Sepuluh tahun sejak merilis album ikonik yang meninggalkan pendengar mereka haus akan karya selanjutnya, band ini kembali dengan bunyi yang tak akrab, meninggalkan karakter yang mendefinisikan mereka.
Namun, ada pilihan justru untuk memaknai perubahan ini sebagai perkembangan alami. Dari lagu-lagu klasik Silampukau pun, kita bisa menangkap energi kreatif yang meluap-luap. Energi kreatif semacam itu tak akan pernah bisa ternyatakan sepenuhnya. Akan selalu ada yang tertinggal, menyiksa dan menggebu-gebu. Dan kita bisa membayangkan ketidaktenangan yang mereka hadapi bertahun-tahun setelah mengeluarkan “Dosa, Kota, dan Kenangan”. Tidak menghasilkan karya untuk waktu yang lama dan ketika dihadapkan dengan alat produksi, mereka digentayangi oleh lagu-lagu mereka sendiri. Lagu-lagu itu sukses—terlalu sukses bahkan. Mereka tahu para pendengar menunggu-nunggu rilis baru dan akan mengukurnya berdasarkan lagu-lagu lama.
Orkes Silampukau bisa memainkannya secara aman—menghasilkan musik mengikuti setiap resep yang mengantarkan mereka ke tempatnya sekarang. Tapi, tidakkah itu akan mengkhianati apa yang mereka bangun selama ini? Tidakkah mereka bakal merasa jadi musisi karikatural yang mereka cemooh bersama para pendengarnya? Kita tahu bagian mana yang paling dinantikan ketika “Doa 1” dimainkan dalam konser—bagian yang akan dimainkan pelan-pelan, penuh perhatian, dan ditunggu Eki, Kharis serta para pendengar sambil meringis.
Stambul Arkipelagia menjadi respons tanpa kompromi terhadap ketidaktenangan tersebut.
Suatu petang, saya berbincang bersama Kharis dan seorang teman lain yang sudah mendengar Stambul Arkipelagia sejak baru digenjreng keluar dari kepala penciptanya. Sejak awal pula, teman ini mengomentari sulitnya mengingat lirik-lirik Stambul Arkipelagia bila baru mulai mendengarnya. Dalam obrolan itu, saya kontan membenarkannya. Saya mengaku tak mendengar reff yang sederhana dan berulang, jangkar lagu yang memungkinkannya melekat di pendengar, bahkan ketika mereka tak sadar.
Dengan masukan seperti itu dari awal, Kharis kukuh dengan pilihannya: Stambul Arkipelagia mesti jadi jagat yang mengalun bak pentas musikal, bergulir terus tanpa dijangkari apa pun. Orkes Silampukau tahu risiko dari keputusan-keputusan kreatifnya dan tetap melangkah.
Di samping ketidaktenangan artistik, lagu-lagu Orkes Silampukau juga gamblang dengan ketidaktenangan politik. Kita tidak sedang hidup di masa yang manis. Menguatnya otoritarianisme dan militerisme, kontrol oligarki terhadap kebijakan, perampasan lahan, ketimpangan, dan merebaknya pekerjaan informal rentan mendefinisikan hari-hari yang kita hidupi.
Semesta Arkipelagia bisa dimaknai sebagai berbagai hal. Tapi, kita tak bisa berpura-pura bodoh ke mana referensinya diarahkan. Dan ketimbang memilih untuk berbicara dengan subtil, ia menguraikan satu skenario ekstrem dengan gambaran yang menggelegar, tak ditahan-tahan.
Saya membayangkan barangkali lirik-lirik Stambul Arkipelagia akan lebih intim bagi sebagian pendengar bila menyentuh krisis yang sunyi ketimbang spektakuler. Lilitan hutang yang tidak terbayar—yang kita tahu tengah menjadi persoalan banyak orang. Ijazah yang diperoleh dengan mahal, lama, dan ternyata tak berharga. Perasaan tidak ada gunanya karena tak kunjung menemukan pekerjaan, hanya menganggur di rumah tak menentu sambil dengan lemas menyaksikan berita penyelewengan kekuasaan.
Tapi, sebagaimana musiknya yang tak malu-malu, Stambul Arkipelagia memilih memotret krisis yang spektakuler. Ia bercerita bukan lagi tentang orang-orang yang diputus sumber udaranya pelan-pelan, melainkan mereka yang ditebas. Mungkin, memang, Orkes Silampukau tak mau ada yang diredam. Mereka ingin berbicara, keras.
Dan sebagai sebuah pesan politik, Stambul Arkipelagia dibawakan dengan kompleksitas musikal yang istimewa. Meski tak semua akan cocok dengan musik terbarunya, Orkes Silampukau punya kepedulian yang tak terbantahkan terhadap lagu-lagunya. Setiap lagu memiliki serenteng lapisan, tapi tak menutupi satu sama lain. Bunyi yang megah dan rombeng, girang dan cemas dijahit dengan hati-hati—Anda bisa merasakannya. Lirik dengan kosakata yang asing disusun dengan rima dan irama yang membuatnya tetap merdu. Mereka pun tak lupa bermain-main dengan kejujuran dan kegamblangan jahat pada lirik mau pun musiknya.
Kita mungkin membayangkan Stambul Arkipelagia menyandang tugas yang berat lantaran pendahulunya. Tapi, bagaimana pun, Silampukau sudah selesai memberikan kepada kita “Dosa, Kota, dan Kenangan”. Karya-karya klasik itu sudah bernaung di hidup kita, bisa diputar ulang, dan akan terus menemani kita semudah menekan layar.
Orkes Silampukau tak berhutang apa-apa dan kini mereka mengikuti panggilannya. Ke mana lagu-lagu baru ini akan tertiup, kita belum tahu.