Dosa, Kota, & Kenangan

Seperti takdir yang panjang dan pedih
dalam hidup yang muram dan letih,
aku masih di sini;
‘ku duduk menanti.

Hanya menanti,
tak bergegas mencari,
hanya bersedih
dalam sunyi.
 
Duduk menanti dalam letih mimpi.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.
 
Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.
 
Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.
 
Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.
 
Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham:
waktu sekedar hitungan yang melingkar
kekal di kehampaan.
 
O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.

Taman Remaja Surabaya 
sajikan canda tepis gulana.
Oh, senangnya!
 
Aih, ya Tuan, 
di sanalah hiburan murah di Surabaya.
 
Irama dangdut hingar berdenyut menghibur hati.
Riang beradu dengan sendu.
 
Aih, ya Puan, 
hanya di sana hiburan murah di Surabaya.
 
Teriak bocah di bianglala 
dan manis cinta di gula-gula, 
ramaikan suasana.
 
Aih, ya Tuan, 
di sanalah hiburan murah di Surabaya.
 
Lowong antrian.
Muda-mudi bersembunyi di remang-remang.
Awas ya, itu tangan!
 
Aih, ya Puan, 
hanya di sana 
hiburan murah di Surabaya.

Kami main bola di jalan raya,
beralaskan aspal, bergawang sandal.
Tak peduli ada yang mencela,
terus berlari mengejar angka.
 
Kami rindu lapangan yang hijau.
Harus sewa dengan harga tak terjangkau.
Tanah lapang kami berganti gedung.
Mereka ambil untung, kami yang buntung.
 
Kami hanya main bola,
tak pernah ganggu gedungmu.
Kami hanya main bola,
persetan dengan gedungmu.
 
Memang kami tak paham soal akta,
sertifikat tanah dan omong kosong lainnya.
Kami hanya ingin main bola,
zonder digugat, zonder didakwa.

Duh, Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kedaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.
 
Duh, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.
 
Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.
 
Duh, Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.
 
Duh, Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.
 
Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.
 
Duh, Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …
 
Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?
 
Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.
 
Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.

Gelanggang ganas 5:15,
di Ahmad Yani yang beringas.
Sinar kuning merkuri: pendar celaka akhir hari.
Malam jatuh di Surabaya.
 
Maghrib mengambang lirih dan terabaikan,
Tuhan kalah di riuh jalan.
Orkes jahanam mesin dan umpatan,
malam jatuh di Surabaya.
 
Selama-lamanya, 
di gelanggang yang sama,
malam jatuh di Surabaya.

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.
 
Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.
 
Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.
 
Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.
 
Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.
 
Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.
 
Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama
 
Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .
 
Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.
 
Hari-hari berulang,
diriku kian hilang,
himpitan hutang tagihan awal bulan.
 
O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!
 
Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.
 
–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—
 
Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.
 
–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—
 
O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.
 
“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”
 
Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.
 
O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.
 
“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”

“Hidup ini memang keras,
apa salahnya ‘ku jual miras?
 
Anggur, vodka, arak beras,
dijamin murni tanpa potas.”
 
Datang kapan saja silahkan.
Siang-malam tak usah sungkan.
Sekali siul dua ketukan,
biar ‘ku tahu pasti itu pelanggan.
 
Sekali waktu datang mereka yang berseragam.
Turun dari mobil, pasang tampang sok seram.
Sedikit bangkrut aku tiap mereka datang,
yang penting bisnis aman.
 
Dari sungai yang berkarat,
susuri arah menuju barat.
Di seberang kantor wakil rakyat,
di sanalah aku bertempat.
 
Kadang datang juga mereka yang terpinggirkan.
Wajah kurang makan, ngotot beli minuman.
Tak habis pikir aku tiap mereka datang.
Ya sudahlah, silahkan.
 
“Hidup ini tambah keras,
semenjak naiknya harga miras.
 
Anggur, vodka, arak beras,
lebih hemat campur potas.”

Dolly, yang menyala-nyala di puncak kota,
yang sembunyi di sudut jalang jiwa
pria Surabaya.
 
Dulu, di temaram jambon gang sempit itu,
aku mursal masuk, keluar, dan utuh
sebagai lelaki.
 
Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di dengung hambar aspal yang terus bergulir,
di lubang-lubang nyinyir ranjang matrimoni,
kupertanyakan nasibmu Dolly, oh, Dolly.
 
Dolly, suaka bagi hati yang terluka
oleh cinta, oleh seluruh nelangsa
hidup yang celaka.
 
Dolly, tempat mentari sengaja ditunda,
di mana cinta tak musti merana
dan banyak biaya.
 
Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di detik lamban takdir yang terus bergulir,
di buah-buah kisut ladang matrimoni,
kucari-cari kabarmu Dolly, oh, Dolly.
 
Meski beritamu kini sedang tak pasti,
yakinlah,
pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi.
 
Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di jenuh rutin hari yang terus bergulir,
di celah-celah renggang sumpah matrimoni,
aku panggil-panggil namamu: Dolly, Dolly, Dolly.

Sementara Ini

Saat bulan menghilang
Malam berganti pagi
Tangan lebar merentang
Siap wujudkan mimpi

Basuh liur di wajah
Lalu sadarkan diri
Tegas kaki melangkah
Menyapa matahari

Siapkanlah pagi, dengan senyuman
Lekaslah berlari, sebelum siang

Agar pagi semangat
Perut butuh sarapan
Lemper dan teh yang hangat
Meminjamkan harapan

Siapkanlah pagi, sebelum siang

Cinta bukan soal pengorbanan
Dengan tulus tak terasa beban
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit tak kan jadi tangis

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit tak kan jadi tangis

Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?)
Kala hidup tak banyak tuntutan:
Biarlah yang tebaik jadi manis
Dan pahit tak kan jadi tangis

Hei, anak muda! Teruslah berkarya
Selagi muda, taklukkanlah dunia
Dan pasti kelak tuamu terperangkap rindu
Akan cerita yang kau bagi pada anak cucu

Hei, kau yang muda! Jadilah berguna
Bagi dirimu, dan sanak saudara
Sudahi saja pestamu, dan luangkan waktu
Melakukan sesuatu untuk masa depanmu

Tenang saja, kamu kan hebat
Akan terlihat jalan yang terang
Di mimpi yang tak kau beli

Hei, orang tua! Jangan umbar kata
Ingatlah bahwa kau juga pernah muda
Pernah lucu, pernah lugu, dan tak bijaksana
Lalu perlahan jadi guru, tanpa perlu mirip buku

Tenang saja, kamu kan hebat
Akan terlihat jalan yang terang
Di mimpi yang tak kau beli

(Kuharap)
Malam ini indah bagi kita
(Kuharap)
Besok-besok tak kalah indahnya
(Kuharap)
Akhir kita bukanlah di sini

(Semoga)
Detik ini mengendap selamanya
(Semoga)
Rindu tak membebani kita
(Semoga)
Sampai jumpa, sampai jumpa lagi

Saat bertemu di lain waktu
Sampaikan salam, lambaikan tangan
Saat bertemu di lain waktu
Senyum yang baru kita ciptakan 

(Semoga)
Tak ada salah-salah kata
(Semoga)
Kami berkenan di hati anda
(Semoga)
Sampai jumpa, sampai jumpa lagi

Ujung perjalanan, 
Terkumpul banyak cerita

Pemberhentian susah diramalkan,
Jangan sampai terlewat

Kawan jangan terpencar,
Ingatlah untuk bersandar

Pemberhentian susah diramalkan,
Jangan sampai terlewat

Sudah saat berbenah, sampaikanlah doa
Kuatkan kaki kencang bertahan
Titipkan semangat, pada yang telah lelah
Tegakkan kaki yang telah tertekuk

Ujung perjalanan,
Kita lanjutkan cerita

Pemberhentian susah diramalkan,
Jangan sampai terlewat

Sudah saat berbenah, sampaikanlah doa
Kuatkan kaki kencang bertahan
Titipkan semangat, pada yang telah lelah
Tegakkan kaki yang telah tertekuk

Jika terpaksa 
Pisah di tengah-tengah langkah,
Selamat tinggal,
Semoga bahagia!

Single

Apa kabar, bung?
Aku senang kau berkunjung.
Entah berapa lama kita tak terhubung.
Lalu kau bercerita tentang musim yang berubah,
dan tentang Indonesia yang bermasalah

Apa kabar, bung?
Duka apa yang kau tanggung
Dudukmu resah dan pandanganmu gelisah
Katamu, “petaka bangsa ini mustilah bermula
sebab kita telah penuh dengan dosa!”

Sebentar, bung, tunggu dulu!
Jangan terburu-buru!
Meski aku juga tak seberapa tahu 
apakah benar-benar begitu
Sebentar, bung, tunggu dulu!
Jernihkanlah pikiranmu:
jangan tergesa menghantam rata dunia.

Apa kabar, bung?
Duka apa yang kau sambung?
Lihat sendiri, bung,
aku pun kurang beruntung.
Lantas kau bercerita tentang seluruh rencana.
Tentang peluang-peluang usaha

Apa kabar, bung?
Selalu senang kau berkunjung.
Tapi keningmu cemas, 
rambutmu mulai meranggas.
Katamu, “belakangan ini hidup sungguh ganas”
(Segala yang kau punya telah terampas)

Sebentar, bung, tunggu dulu!
Jangan bilang begitu!
Mungkin kau tak tahu 
jika sebenarnya kondisi kita tak jauh berbeda.

Sebentar, bung, tunggu dulu!
Aku tak sedang melucu
Kau lupa aku juga rakyat jelata
negeri yang sama.

Kegagalan sering terpaksa dimaafkan
terpaksa dimuliakan,
demi ilusi keutuhan,
demi fasad kestabilan,
demi kedamaian.

Pembenaran terus-menerus disemburkan
dari dubur kekuasaan,
menghancurkan kewarasan.
Berdengung mengacau ingatan
atas kenyataan.

Jangan, Mama,
jangan teperdaya.
Berharap pada mereka
cuma percuma semata.

Perampasan menjadi keniscayaan
dalam nama pemerataan,
dalam janji kesejahteraan:
dalam manisnya pernikahan
bandit dan bajingan.

Pembungkaman
lewat pasal dan julukan
lewat revolver dan senapan.
Lestarilah ketakutan:
Padamlah padam perlawanan
s’menjak di pikiran.

Aduh, Mama!
Rupa-rupanya,
kita di mata mereka
bukan lagi manusia.

Perubahan makin jauh dari harapan,
semakin pudar di angan,
semakin tak terbayangkan,
semakin dipertanyakan,
semakin menyedihkan.

Layang-layang
padam di langit selatan.
Udara berat mencekam,
dapatkah bidukku pulang.

Kebyar kilat.
Riuh petir menggemuruh hebat.
Cuaca jadi khianat.
Laut rasa kiamat.

Badai melaju menderu-deru.
Maut, berhentilah kau merayu.
Semangatku masih cukup,
‘tuk bertahan hidup.

Amuk ombak,
geladak berderak-derak.
Pasrahku padamu sauh,
ke mana akan berlabuh.

Badai melaju menderu-deru.
Maut berbisik merdu merayu,
 “Semangat saja tak cukup
‘tuk menyambung hidup.”

Layang-layang
padam di langit selatan.
 Relakanlah daku, sayang:
mustahil bidukku pulang.