Kawanan Kepodang yang Ditunggu Terlalu Lama

Kharis Junandharu memang bukan Gregor Samsa. Tapi, bukan berarti tokoh dari karya agung sastrawan Franz Kafka di noveletnya berjudul Metamorfosa (terbit pertama tahun 1915) itu terlalu jauh dari Kharis. Zaman mereka berbeda. Negeri mereka berdua berjarak terlalu jauh. Namun, setiap keresahan punya resonansinya sendiri. Dalam sepanjang kisah yang gelap dan sesak atas kehidupan Gregor Samsa, kita mendapati rasa bosan, keterpurukan, semacam rasa cemas menghadapi absurditas dunia modern.

Tapi, kalau kita lihat di album baru ini, kita bisa mendapati keresahan serupa. 

Mari kita simak sepenggal pernyataan pengantar dalam album pendek yang berisi 4 lagu (atau sesungguhnya 5?), yang bertajuk Stambul Arkipelagia: Vol. 1—yang menyiratkan akan ada volume-volume selanjutnya. Saya ambilkan sepotong pernyataan yang sangat relevan dengan apa yang saya tulis di atas:

“…sebuah negeri maritim penuh marabahaya di suatu tempat di sepanjang lingkar tropis, yang menjadi perwujudan distopia terburuk dari peradaban manusia, yang terletak di masalalu dan masadepan yang jauh secara bersamaan; sebuah negeri yang senantiasa berada di ambang kenyataan dan khayalan.”

Pernyataan yang kuat sekaligus tersirat jelas di sana sebuah keresahan menghadapi masa kini yang buruk dan masa depan yang jauh—tak bisa atau lebih tepatnya tak berani dibayangkan. Saking tegangnya, maka ia berada di ambang kenyataan dan khayalan. Semacam Gregor Samsa yang tiba-tiba terperangkap di sebuah wadhag seekor kecoa.

***

Silampukau yang menetas tahun 2008, baru berkicau dengan mini album tahun 2009, yang membuat duo Kharis dan Eki ini mendapatkan perhatian dari para pencinta musik ber-gagrak folk. Tapi baru tahun 2015, mereka menggedor pintu musik Indonesia dengan album ‘Dosa, Kota, & Kenangan’. 

Sekali pun direkam dengan segala keterbatasan, dan Kharis berkali-kali menyatakan itu sebuah album yang dibuat agak terburu-buru, namun nyatanya album itu meraih banyak penghargaan, terutama apresiasi dari para pendengar musik di Indonesia. Silampukau, mematuki kepala para pencintanya. 

Tapi album kedua tak kunjung datang. Banyak orang mengira Silampukau mengalami ketakutan: album kedua tak diterima sebagaimana album pertama. Bahkan ada kenalan saya, yang saya anggap orang yang tahu musik, pernah berceloteh, “Makanya kalau bikin album jangan terlalu sempurna, jadinya seperti Silampukau, dibayang-bayangi ketakutan mereka sendiri.”

Saya tidak bisa berkomentar lebih jauh, karena hubungan saya dengan Kharis dan Eki boleh dibilang cukup dekat, dan saya menyaksikan upaya mereka untuk terus berkreasi. Minimal setahu saya, mereka mengeluarkan single “Dendang Sangsi” (2021) dan “Lantun Mustahil” (2022). Kedua lagu tersebut, setidaknya bagi saya yang hanyalah seorang penikmat lagu—itu pun penikmat semenjana, bukan kelewat serius—terasa betul perkembangan musikalitas dan keinginan lepas dari kerangkeng album ‘Dosa, Kota, & Kenangan’, dan saya kira itu berhasil. Walau pun dalam beberapa kali pertemuan dengan Kharis, lagi-lagi dia bilang, kedua single itu tetap dianggap “terlalu terburu-buru”. Tapi tetap bagi saya, itu dua lagu yang enak dinikmati, segar, dan asyik.

Hanya saja saya mengerti, setiap kreator semacam Kharis, terus ada dalam ketegangan antara keinginan berkarya dan membagikan karya mereka ke publik dengan rasa sesal, seolah ingin bilang: ini kurang sempurna.

Tapi sebagai seorang kreator di bidang lain, keinginan atas kesempurnaan itu harus dianggap sebagai sebuah keresahan kreatif, bukan kasunyatan produktif. Kalau semua kreator mengikuti arus keinginan mempersembahkan kesempurnaan, saya kira tidak akan ada orang berkarya. Keparipurnaan sebuah karya justru karena di dalamnya ada bolong, cela, koyak, yang justru bisa dimengerti oleh apresiator. Kalau diibaratkan makanan, karya yang “sempurna” bisa jadi malah tidak bisa ditelan karena rasa eman. Juga kompatibel dengan eksistensi manusia, ketidaksempurnaan akan melahirkan ketidaksempurnaan yang lain, tapi justru karena itulah layak diedarkan. 

***

Pada karya terbaru ini, Silampukau tampaknya bukan hanya melempar album yang sudah dipersiapkan sejak lama, mencoba digarap dengan lebih teliti dan apik, dan mengubah nama Silampukau menjadi Orkes Silampukau. “…adalah formasi baru kelanjutan daru duo Silampukau.”

Saya tidak tertarik untuk menelisik lebih jauh kenapa harus ada pilihan ini. Kharis tentu lebih paham. Mungkin mereka butuh formasi anyar untuk melahirkan album pendek ini, dan kelak album-album lain, sebab direncanakan ada volume 2 dan 3, yang ketiganya menjadi album utuh. Sebuah strategi yang juga tak perlu saya cemaskan benar sebagai seorang pendengar.

Musababnya, saya diberi kemewahan untuk mendengarkan album pendek volume pertama ini, dari mulai sketsa lagu hingga rekaman usai. Dan bagi saya itu bukan hanya kemewahan tapi juga menelisip rasa bangga dan takjub. Bangga karena apa yang dibilang banyak orang yang meragukan Silampukau tidak terbukti. Takjub karena rasa Silampukau masih kuat, tapi terjadi gradasi warna lagu yang jelas kentara. Saya yakin, pencinta musik Silampukau tetap akan terpukau dengan kualitas Orkes Silampukau.

Harapan Orkes Silampukau yang tertera dalam pengantarnya yang apik itu, tampaknya bukan bualan. 

“Besar harapan kami bahwa karya ini dapat dinikmati sedalam-dalamnya sebagai fiksi, sebagai pakansi singkat kala kenyataan demikian mengimpit, sebagai lantunan kala situasi terasa muskil dan sulit.”

Sebuah lagu yang dinikmati ala fiksi dan pakansi singkat, sepertinya memang benar adanya. Fiksi dari sebuah negeri yang entah, yang berada di ambang kenyataan dan khayalan. Dan pakansi singkat, minimal ketika mendengarkan lagu-lagu di album pendek ini, membuat kita bertamasya dalam syair dan titi nada yang dibentangkan dengan zig-zag, meliuk, sebab sebagaimana jalanan, yang terlalu lurus dan halus hanya akan menghasilkan rasa kantuk. Ini adalah sebuah antologi lagu yang hidup. Rentetan lagu yang akan membuat kepala menggeleng dan mengangguk sehingga urat-urat di leher bisa rileks, tulang punggung bisa lentur, dan entakan kaki yang membuat sistem saraf terangsang dan aktif kembali.

Namun di sisi lain, isi kepala dan imajinasi tetap punya alarm dan sirine kewaspadaan, karena kita masih dan sedang hidup di sebuah negeri yang sedang tidak baik-baik saja, yang potensi terjadinya turbulensi bisa terjadi kapan saja.